Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa
Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah
timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini
sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya
Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang
sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama
dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut
agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan
perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang
selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang
letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah
‘keagungan’, merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat
suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan
Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai
dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4,
yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan
Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago
selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi
Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan
Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang
menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya.
Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.
Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan
raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh
raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran
pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih
memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Saat ini Candi Jago masih berupa
reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi
empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi
bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa
tingginya mencapai 15 m.
Bangunan candi menghadap ke barat,
berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri
atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil
sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat
dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra (ruang utama) terletak
bergeser agak ke belakang.
Bentuk bangunan bersusun, berselasar dan
bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada bangunan
pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan punden
berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat pemujaan
arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan pembangunan
Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur. Namun masih
diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut untuk membuktikan
kebenarannya.
Untuk naik ke lantai yang lebih atas,
terdapat dua tangga sempit di sisi kiri dan kanan bagian depan (barat).
Lantai yang terpenting peranannya dan tersuci adalah yang paling atas,
dengan bangunan yang letaknya sedikit bergeser ke belakang.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel
relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan
teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi
dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung
unsur pelepasan kepergian. Hal ini menguatkan dugaan bahwa pembangunan
Candi Jago berkaitan erat dengan wafatnya Sri Jaya Wisnuwardhana. Sesuai
dengan agama yang dianut oleh Raja Wisnuwardhana, yaitu Syiwa Buddha,
maka relief pada Candi Jago mengandung ajaran Hindu maupun Buddha.
Ajaran Buddha tercermin dalam relief cerita Tantri Kamandaka dan cerita
Kunjarakarna yang terpahat pada teras paling bawah. Pada dinding teras
kedua terpahat lanjutan cerita Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata
yang memuat ajaran agama Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha.
Teras ketiga dipenuhi dengan relief lanjutan cerita Arjunawiwaha.
Dinding tubuh candi juga dipenuhi dengan pahatan relief cerita Hindu,
yaitu peperangan Krisna dengan Kalayawana.
Di tengah pelataran depan, sekitar 6 m
dari kaki candi, terdapat batu besar yang dipahat menyerupai bentuk
tatakan arca raksasa, dengan diameter batu sekitar 1 m. Di puncaknya
terdapat pahatan bunga padma yang menjulur dari bonggolnya.
Di sisi barat halaman candi terdapat arca
Amoghapasa berlengan delapan dilatarbelakangi singgasana berbentuk
kepala raksasa yang saling membelakangi. Kepala arca tersebut telah
hilang dan lengan-lengannya telah patah. Sekitar 3 m di selatan arca ini
terdapat arca kepala rasaksa setinggi sekitar 1 m. Tidak didapat
informasi apakah benda-benda yang terdapat di pelataran candi tersebut
memang aslinya berada di tempatnya masing-masing.
Keterangan
Saat ini Candi Jago masih berupa
reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi
empat dengan luas 23 x 14 m. Atap candi sudah hilang, sehingga tinggi
bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa
tingginya mencapai 15 m.
Bangunan candi menghadap ke barat,
berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dan kaki candi yang terdiri
atas 3 teras bertingkat. Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil
sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat
dilewati untuk mengelilingi candi. Graba ghra (ruang utama)
terletak bergeser agak ke belakang. Bentuk bangunan bersusun, berselasar
dan bergeser ke belakang merupakan bentuk yang umum ditemui pada
bangunan pada zaman megalitikum, yaitu yang disebut sebagai bangunan
punden berundak. Bentuk itu umumnya digunakan dalam membangun tempat
pemujaan arwah leluhur. Menilik bentuknya, diperkirakan bahwa tujuan
pembangunan Candi Jago adalah juga untuk tempat pemujaan arwah leluhur.
Candi Jago dipenuhi dengan panel-panel
relief yang terpahat rapi mulai dari kaki sampai ke dinding ruangan
teratas. Hampir tidak terdapat bidang yang kosong, karena semua terisi
dengan aneka ragam hiasan dalam jalinan cerita-cerita yang mengandung
unsur pelepasan kepergian
Ajaran Buddha tercermin dalam relief
cerita Tantri Kamandaka dan cerita Kunjarakarna yang terpahat pada
teras paling bawah. Pada dinding teras kedua terpahat lanjutan cerita
Kunjarakarna dan petikan kisah Mahabarata yang memuat ajaran agama
Hindu, yaitu Parthayajna dan Arjuna Wiwaha